Thursday, October 15, 2009

Dikotomi Maria Ozawa dengan PLN

Tadi sore saya minta teman untuk beli koran Pare Pos karena banyak teman-teman yang minta informasi tentang formasi CPNS Kota Parepare Sulawesi Selatan 2009 yang kebetulan dimuat oleh koran lokal tersebut pada hari ini. Salah satu berita yang sempat saya baca adalah tentang rencana kedatangan Maria Ozawa (Miyabi) ke Indonesia yang kemudian mendapat larangan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Mohammad M Nuh yang sekaligus menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi.

Saya sebenarnya tidak ambil pusing dengan rencana kedatangan Maria Ozawa sang bintang film porno itu ke Indoesia. Terlalu banyak orang munafik di negeri ini, lihat saja trafik pencarian tentang Maria Ozawa di internet yang meningkat tajam akhir-akhir ini yang membuktikan bahwa Maria Ozawa boleh saja sangat diinginkan kedatangannya. Berbicara tentang film porno, video mesum, gambar telanjang dan segala bentuk pornografi, bukan hanya Maria Ozawa bintangnya. Video-video porno, gambar telanjang banyak kita jumpai di internet yang pelakunya adalah anak negeri ini baik itu orang biasa, pejabat, anggota DPR, artis, karyawan, mahasiswa, anak SMA, bahkan anak SMP. Adegan mesum itu kemudian dikemas dalam berbagai format seperti 3gp yang kemudian menjadi konsumsi publik melalui internet baik tidak disengaja atau bahkan memang sengaja dilakukan.

Lalu apa bedanya mereka dengan Maria Ozawa? Yang berbeda adalah Maria Ozawa menjadikan adegan porno sebagai profesi dan menjadi kaya raya dengan itu, sementara di negeri ini hanya sekedar mengumbar kesenangan kepada publik dan berbuntut pada hilangnya harga diri dan tak jarang kehilangan posisi baik itu masa depan, jabatan, popularitas dan lain sebagainya. Lalu siapa yang lebih baik?

Saya sebenarnya lebih pusing dengan PLN yang oleh teman-teman diplesetkan menjadi Perusahaan Lilin Negara. Betapa tidak, PLN melakukan pemadaman bergilir yang sangat tidak manusiawi. Saya kemudian mempelajari polanya, dan ternyata PLN menggunakan rumus 6/3 (enam jam menyala, tiga jam berikutnya dipadamkan). Sehingga tidak kurang dari 3 kali setiap harinya listrik dari PLN padam. Toko-toko menjadi ramai untuk membeli lilin, mesin genset, dan lampu charge untuk mengantisipasi pemadaman PLN.

Ironis, PLN santai menghadapi semua ini tanpa sedikit pun terlihat upaya untuk mengatasinya. Sangat kontras ketika pembayaran terlambat 2 hari saja maka dengan sigap rumah kita akan dikunjungi oleh petugas PLN sambil membawa secarik kertas yang berisi ancaman pemutusan listrik. Saya 2 kali menerima surat ancaman karena lupa tanggal jatuh tempo pembayaran listrik. Lalu tidak bisakah kita memberikan secarik kertas juga kepada mereka dengan kondisi seperti ini yang berisi "Maaf, bulan ini saya tidak bisa membayar listrik karena uangnya saya gunakan untuk membeli lilin, mesin genset, atau lampu charge". Saya yakin surat ancaman yang sama akan kita terima dan tunggu 2 hari berikutnya jika tidak dilunasi, maka listrik Anda akan benar-benar diputus oleh PLN.

Friday, October 2, 2009

PUANGKU

Inilah PUANGKU (panggilanku untuk ayahku), dengan setelan jasnya. Gambar ini diambil tahun 2005 saat aku Wisuda S1 di Universitas Negeri Makassar (UNM). Seingatku, PUANG baru dua kali mengenakan setelan jas lengkap, yang pertama waktu aku wisuda itu dan yang kedua saat aku menikah bulan Mei 2009 kemarin.

PUANG, bukan pejabat, bukan pegawai negeri atau pun swasta. PUANG hanyalah seorang petani yang menggarap tanah miliknya yang hanya 1/4 hektar. Dengan tanah seluas itu PUANG menghidupi aku, ibuku, dan adik perempuanku. Tanah itu tentu saja tidak cukup untuk mengganjal perut kami agar tetap bisa bertahan hidup. Untuk itu, PUANG harus mencari sumber makan yang lain. Waktu aku kecil, PUANG membuat sapu ijuk dan menjualnya ke pasar dengan berjalan kaki sekitar 8 - 10 km. Puang rela berjalan kaki agar uangnya tersimpan untuk membeli kebutuhan kami sekeluarga katanya.

Jika musim panen padi tiba, maka PUANG berubah profesi jadi buruh. Membantu orang yang memiliki sawah memanen padi dengan imbalan gabah tentunya. Itulah yang menyambung hidup kami sehingga tidak kehabisan beras karena beras belum habis, musim panen datang lagi dan PUANG kembali menjadi buruh. Begitu seterusnya.

Beban paling berat dipikul PUANG saat aku kuliah yang membutuhkan banyak biaya. Di usianya yang semakin tua, PUANG masih tetap semangat untuk membuatku berhasil. Untungnya aku dapat beasiswa sejak semester I, sehingga beban PUANG sedikit ringan. Tetapi tetap saja PUANG harus pontang panting untuk membiayai kuliahku. Sejak aku kuliah puang beralih profesi, selain tetap menggarap tanahnya yang 1/4 hektar, PUANG membuat atap dari daun rumbia yang kemudian dijualnya. Dari penghasilannya itulah aku bisa menjadi Sarjana. Dan betapa bangga dan bersemangatnya PUANG mengikuti prosesi Wisudaku di Makassar yang berjarak 200 km dari kampungku. Itulah pengalaman pertama puang meninggalkan kampung naik mobil sejauh itu.

Setelah selesai kuliah, aku kemudian mendapat rezeki lulus PNS di Parepare yang jaraknya sekitar 400 km dari kampung halaman. Jadilah aku jauh dari PUANG dan keluarga meski aku berada jauh atas restu mereka juga.

Mengapa aku tergerak menceritakan ini, karena besok aku akan pulang menengok PUANG. PUANG sedang sakit dan sepertinya harus dibawa ke rumah sakit. Sudah seharunya semuanya dibalik, aku yang mengurus PUANG tidak lagi seperti dulu. Andai Tuhan mengijinkan, aku ingin segera memiliki rumah sendiri di kota tempatku bekerja agar bisa memboyong keluargaku ke sini, agar aku bisa menjaga mereka dan mencukupi segala kebutuhannya. Amin. Untuk teman-teman yang sempat membaca cerita ini, tolong minta doanya semoga PUANGKU tidak apa-apa.

AKU sayang PUANG...
Semoga semangat PUANG yang menyala-nyala ketika berbicara haji, bisa aku wujudkan dan memberangkatkan PUANG ke tanah suci. Amin. Beri aku kemampuan untuk itu Ya... ALLAH...