Wednesday, April 25, 2007

Pembina Upacara

Sudah tradisi di SMP Negeri 5 Parepare bahwa semua guru dapat giliran menjadi Pembina Upacara tak terkecuali aku yang belum cukup setahun mengabdi. Nah, tanggal 23 April 2007 kena dech giliran aku.
Sebenarnya tidak ada persiapan khusus, tapi aku paling alergi bangun pagi. Sekedar info ***selama ini jarang ikut upacara*** karena kebanyakan telat bangun pagi. Aku takutnya terlambat bangun, wah gawat bisa diomelin oleh semua guru di sekolah, kepala sekolah, untung kalo siswanya gak ikut ngomel, atau sampai meja dan kursinya ikut ngoceh.
Makanya segala tips dan cara dilakukan termasuk melakukan ritual (ritual tuh, tidur cepat. Ha? Hubungannya dimana?). Tapi dasar kebiasaan begadang, udah tidur sekitar jam sembilan malam, ehhhh terbangun lagi jam sebelas. Wah, udah was2 pasti telat bangun lagi. Mutar otak, pasang alarm di ha-pe? Udah. Tapi biasanya gak mempan karena suka gak sadar bangun cuma matiin aja. Ah, hubungi Shanty suruh dia telepon jam lima tiga puluh pagi tuk bangunin karena dia pasti cepat bangun tuk berangkat sekolah. Sekitar jam dua tidur lagi dengan terlebih dahulu membuat konsep dalam otak apa yang ingin disampaikan(pinjam istilah nenek Einstein: eksperiman dalam fikiran, he he he). Selamat tidur Syarief.
=====
Jam lima tiga puluh aku dengar ha-pe ku bunyi. Dengan mata masih enggan terbuka aku menyapa “halo”, “halo kak, bangun katanya mau bangun cepat” kata suara merdu diujung telpon. “mmm, iya. Makasih”. Sesudah basa basi sebentar telepon pun ditutup. Aku lirik jam di ha-pe, ah masih sangat pagi… masih ada waktu tidur sebentar lagi. Lanjut lagi tidurnya (dasar pemalas). Tidak lama tersentak bangun, wah udah lewat jam enam. Buru-buru bangun tapi gak bisa langsung mandi karena dingin sekali. Jadinya duduk2 dulu lalu panasin motor. Mau gak mau harus mandi, meski setelah itu bersin2 hebat ***maklum menderita pholip***. Trus masang pakaian dinas Hansip, ngeceng depan cermin, semprot sana semprot sini, udah siap. Di meja makan blom ada sarapan karena pengantarnya blom datang. Ya sudah, ambil tas berisi buku2 yang belum aku baca semua. Pacu si “Blacky“ ke sekolah yang berjarak sekitar lima kilometer, langsung naik parkiran yang jalan naiknya hampir empat puluh lima derajat. Blum banyak guru yang datang karena di parkiran masih banyak tempat kosong ***hal yang tidak biasa kujumpai karena biasanya aku datang telat dan susah dapat tempat kosong***.
Pak Yuddin (guru seni) langsung nyapa tapi sapaannya aneh “mimpi apa semalam, barusan datangnya pagi“. Aku hanya tersenyum. Aku terus mendaki menuju kantor karena memang sekolah teksturnya berbukit. Sapaan sama terjadi di sana, bahkan ada guru senior yang cubit dirinya sendiri “apa saya mimpi liat Pak Syarief datang pagi”. Duuuhhh segitu malaskah aku selama ini. Sudah saatnya introspeksi diri, karena selama ini aku memang cuek untuk urusan yang tidak berhubungan dengan pembelajaran di kelas, apa lagi dengan urusan bergosip ria, bahkan saat SMP Negeri 5 Parepare dililit masalah internal dan terekspose ke media, aku tetap cuek-cuek aja.
=====
Jam tujuh nol nol, upacara dimulai. Salah seorang siswa datang melapor sebagai bagian seremonial “Bapak selaku Pembina upacara diperkenankan memasuki lapangan upacara”. Dengan langkah tegap yang dibuat-buat, melangkah menuju mimbar di tengah lapangan. Lho... lho... koq aku ngerasa lutut kiriku kaku. Wah, aku grogi. Gawat. Padahal aku sering hadapi tekanan lebih dari ini. Aku mundur selangkah, tarik nafas dalam2. Akhirnya jadi rileks. Semua teratasi. Tiba saatnya amanah pembina upacara, yang paling dinanti dan paling mendebarkan karena harus ngomong layaknya orang tua yang sok bijaksana dan menjurus ke sok tau dengan guru-guru senior dan kepala sekolah berdiri di belakang. Dengan segala kemampuan aku berusaha mengaplikasikan teori retorika ***materi yang sering kubawakan di acara kemahasiswaan dulu***. Aku awali dengan bicara pengalaman bahwa sekitar enam tahun silam statusku sama seperti mereka sebagai siswa dan berdiri sebagai peserta upacara dan sekarang sudah lain kondisinya. Istimewanya karena hari Senin (23/04/07) sehari menjelang pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP yang dilaksanakan serentak tanggal 24 April 2007 di seluruh Indonesia. Ya jadinya wajib beri motivasi kepada kelas IX dengan mengulas standar kelulusan yang sulit dengan mengambil contoh Kepala Sekolah di Ngawi yang nekat curi soal untuk siswanya. Aku juga mengulas singkat tentang etika yang sudah sangat berbeda ketika saya sekolah dulu kaitannya dengan tayangan TV yang sangat bepengaruh. Oemar Bakri yang terinjak tak lepas dari ulasanku dengan mengambil contoh guru di Takalar yang harus meringkuk di penjara dan beberapa kasus siswa yang mempolisikan gurunya hanya karena persoalan sepele seakan siswa telah menjadi dewa yang tidak boleh disentuh. Aku tidak banyak basa basi, prinsipku “padat dan semoga aja jelas“.
=====
Setelah upacara selesai, aku disambut guru-guru senior dengan jabat tangan. Aku heran, lho ada apa ini?. Ternyata mereka ngasi selamat karena katanya salut dengan perform dan amanah yang menyentuh. Karena setelah upacara langsung diadakan rapat untuk persiapan Ujian Nasional, kalimat2 ku dalam upacara masih dibahas di rapat tersebut bahkan kepala sekolah memberi nilai plus sebagai guru muda. Wah kayak Cristiano Ronaldo (gelandang MU) saja yang memperoleh penghargaan pemain muda terbaik di premiership karena kebetulan sebelum aku, guru muda yang lain telah tampil. Dan guru-guru senior bilang aku berhak menyandang gelar the best.
=====
Awal yang baik. Bagiku ini belum apa-apa karena aku yakin masih bisa melakukan banyak hal yang berarti untuk sekolah dan tentunya untuk diriku sendiri. Aku sering berkelakar dengan teman2 guru seusiaku “satu hal yang membuat pikiranku terganggu sebelum tidur Gimana caranya memajukan pendidikan Indonesia dan mencerdaskan anak bangsa”. Dan setelah itu kami tertawa seakan tanpa beban. Memang kedengaran terlalu ideal padahal semua itu adalah tanggung jawab kami selaku Oemar Bakri.

Tuesday, April 24, 2007

Maaf Adinda...

Atas setiap tetesan air mata yang menetes dari matamu, dengan segenap jiwa aku minta maaf atasnya. Tak pernah aku berfikir bahwa semua akan seperti ini. Dari awal aku hanya ingin bahwa dengan aku mengenalmu, akan membuatmu selalu tersenyum... selalu... Tapi mengapa semua harus seperti ini. Kau meneteskan air mata tuk semua yang telah terjadi antara kita, suatu hal yang tidak pernah kuingini, tidak sama sekali.
Maafkan Adinda, jika kebersamaan kita selama ini menyisakan rasa yang begitu dalam di hatimu. Aku bukannya tidak menyadari itu. Aku sangat faham akan rasa yang kau pelihara dalam hatimu tapi tidak kusangka sedalam itu.
Dari awal kebersamaan kita, aku sudah mengingatkan bahwa jangan terlalu melibatkan hati karena pasti akan begini jadinya. Aku faham akan semua keinginanmu, tapi di tempat lain dari belahan bumi ini ada seseorang yang mengharapkan hal sama seperti yang kau ingini. Dan dia terlebih dahulu memilikinya sejak sekitar 9 tahun yang lalu.
Aku tidak ingin menyiksa kaum kalian, yang aku pegang hingga kini. Pengkhianatan tak ingin lagi kulakukan karena aku telah pernah menyakitinya dengan hal yang sama namun dia masih memberi belas kasih dan memaafkanku. Aku tidak ingin lagi menyakitinya. Aku juga tidak ingin menyakitimu lebih dalam dengan menunda pengakuanku atau bahkan membohongimu.
Mungkin aku salah, dan sikapku selama ini telah membuat semua rasa di hatimu tumbuh subur. Tapi aku hanya ingin kau bahagia dengan semua perhatianku. Aku memang sangat menyayangimu terlebih saat-saat kamu harus berjuang menghadapi ujian nasional. Aku tidak ingin kau gagal karena kuganggu perasaanmu dengan mengatakan semua tentang diriku sejak awal.
Apa yang terjadi dalam hatiku, cukuplah aku yang tau. Tapi aku ingin menyayangimu sebagai adikku yang manis karena aku gak bisa lakukan lebih dari itu. Tak perlu kau tanya apakah aku menyimpan rasa yang sama, karena semua itu tidak akan berarti apa-apa.
Adinda, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan yang terbaik dan tak pantas kau pilih, bukankah aku sudah katakan itu sejak awal. Aku manusia yang punya cinta tapi tak lagi bisa aku gunakan. Kau terlalu baik untuk diperlakukan tidak wajar, aku terlalu sayang sehingga tak mungkin kubohongi tentang siapa diriku. Cukuplah kau mengerti siapa aku, bagaimana aku dan maafkan jalan yang aku pilih.

Atas setiap tetes air matamu...
Pada setiap tetesannya aku mohon maaf

Jadilah Adindaku yang manis...
Tetaplah tersenyum...
Hidup lebih indah dari yang kau bayangkan...

Tuesday, April 10, 2007

Hepatitis B

"Pengobatan hepatitis B kronis dilakukan dengan cara mengurangi peradangan, gejala, dan infeksi. Interferon alfa rekombinan saat ini merupakan satu-satunya anti-virus yang disetujui untuk hepatitis. Obat ini mampu menghentikan replikasi virus pada 37 persen pasien. Namun, obat ini selain harganya sangat mahal, ternyata tidak efektif pada kebanyakan pasien dan menimbulkan sejumlah efek samping. Antara lain gejala seperti flu, demam, kedinginan, rasa letih, nyeri otot, serta gemetar.
Sayangnya, vaksin yang ada baru bisa mencegah terjangkitnya hepatitis B. Meski begitu, peluang untuk sembuh dari berbagai penyakit ini masih terbuka, apalagi cangkok hati pun mulai dimungkinkan"
.
Tulisan di atas aku peroleh dari berbagai situs. Cukup ngeri juga membacanya. Betapa tidak, aku salah satu orang yang tidak beruntung menderita penyakit itu. Seketika aku berfikir bahwa umurku tinggal sesaat lagi.
Aku menyesal mengetahui diriku mengidap penyakit ini. Sekitar tahun 2003-2004 salah seorang teman mencari golongan darah A karena orang tuanya mau dioperasi. Karena memiliki jenis darah yang sama, aku bersedia diajak ke PMI Cabang Makassar untuk melakukan donor darah. Alhasil aku gak bisa donor karena aku ditengarai mengidap penyakit hepatitis B. Aku tidak begitu ambil pusing dengan penyakit ini, bahkan obat tradisional yang diberikan orang tuaku tidak pernah aku gunakan. Gejala penyakit ini hanya aku ketahui dari orang-orang dan terbukti gejala itu sering menghampiriku.
Aku mulai khawatir dengan penyakit ini dari seorang teman yang namanya Shanty. Aku iseng-iseng cerita tentang penyakit ini, karena saat kami ketemu aku kembali merasakan gejala penyakit ini. Malamnya saat kami ngomong di telpon dia begitu khawatir dengan penyakit yang aku derita ini karena katanya dia membaca referensi tentang itu. Aku memang tau sekilas bahwa penyakit ini sulit sembuh dan belum ada obatnya yang tepat. Dia sampai harus menangis dengan mengetahui penyakitku. Aku mulai sadar betapa penyakit ini berbahaya dan boleh jadi akan mengakhiri hidupku.
Yang lebih parah ternyata penyakit ini bisa menular ke orang lain dengan kontak fisik. Haruskah aku menyebabkan orang lain mengidap penyakit ini. Haruskah aku menulari istriku jika kelak aku menikah, haruskah aku menulari anakku jika nanti aku dikaruniai anak?. Aku mungkin lebih baik hidup seperti ini saja, sendiri tanpa harus membuat orang lain menderita. Tuhan Adilkah ini?
Aku sungguh menyesal mengapa harus tau mengidap penyakit ini dan akibat yang bisa ditimbulkannya. Andai saja aku tetap dalam ketidaktahuan.
Tetapi mungkin ini takdirku. Kalaupun aku harus meninggalkan dunia ini dalam waktu dekat, mau apa lagi. Itulah suratan takdir yang tidak mungkin aku lawan.

Friday, April 6, 2007

Jujurlah Padanya

Oleh: Andhika Mappasomba
Kukatakan kawan,
Jangan tutupi kebenaran cintamu
Sebab kebohongan akan merobohkanmu dengan perlahan
Aku melihat pahatan kesetiaan antara kalian
Mestikah usai dengan kepalsuan semu

Kukatakan kawan,
Jujurlah padanya tentang kebohonganmu
Sebelum samurai berkilat melukai
dan air mata tak akan sanggup mengobati luka berderai
Bila kau lelaki sejati, sanggupkah kau menikmati luka
yang kau sayatkan pada dada kekasihmu
yang tak henti-henti menyanyikan namamu
merindui bau tubuhmu

Bagiku,
Bukan pengkhianatan yang kau harus lakukan
tapi sebuah jalan dan kabar baru
Merekatkan cinta yang telah lama ada dan setia

Makassar, 9 November 2004
(kepada kawanku Syarief dan Nita Amriani yang bahagia)

Akulah Pecundang Setia

Oleh: Andhika Mappasomba

Kau boleh ragu pada puisi para pujangga
Kau boleh ragu pada janji para pencinta
Kau boleh tak percaya pada ungkapan cinta para lelaki duri
Kau boleh tak percaya pada bujuk rayu para pembujuk

Tapi
Kau harus percaya tentangku
Akulah pecundang setia
Tak mau mengatakan cinta yang ada
Tak mau mengakui jika tak ada mawar mekar selain kau di hatiku
Tak mau mengakui tentang mabuk kasmaranku dan rinduku pada tatapanmu
Tak mau mengakui bahwa aku ingin memilikimu utuh satu rasa suka dan haru

Aku pecundang setia yang membungkus rasa malu dengan diam
Aku pecundang setia, setia untuk tak mau mengakui rasa yang sesungguhnya
Sebab kutakut kau tahu tentang kemunafikanku yang utuh
untuk sepenggal kebenaran

Wednesday, April 4, 2007

Untuk Sahabatku...!!!

Maafkan aku kawan, aku hanya tidak ingin kau tunjuk hidungku dan menyerahkan semua kesalahan padaku. Aku sudah berusaha semampuku untuk berbuat yang terbaik termasuk menghindar dari image "pecundang" yang sering kita bincangkan di warung kopi. Kebersamaan kita baru sesaat, mungkin belum cukup untuk kau mengenalku dan aku mengenalmu lebih dalam. Kau mungkin beranggapan bahwa aku orang yang emosional dan tempramental tapi aku tidaklah seperti itu. Aku tidak berusaha membenarkan diriku dengan mempertontonkan emosi di hadapanmu tapi aku sangat tidak ingin kau menunjuk hidungku dan seakan melimpahkan semua kesalahan padaku yang notabene untuk kepentingan bersama dan menganggap bahwa akulah yang "berkoar-koar" tapi tak mampu melakukan apa-apa. Aku hanya bertanya dalam hati, kenapa semua itu menjadi salahku, mengapa ini tidak menjadi tanggung jawab kita bersama.
Mungkin dunia kampus telah mengajariku bahwa berbuat bukan hanya untuk diri, tapi berbuat untuk orang-orang di sekitar kita termasuk untuk sahabat apalagi jika di dalamnya ada sedikit kepentingan kita. Jika kita hanya mau berbuat apabila di dalamnya ada kepentingan kita, maka dimana kepekaan itu sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri.
Mungkin aku salah menafsirkan atau mungkin terlalu sensitif memaknai apa yang terjadi. Untuk semua itu, atas nama persahabatan aku memohon maaf.
(Untuk sahabat-sahabatku di Warung Kopi)