Setiap yang hidup pasti akan mati, setiap yang ada akan kembali ke ketiadaan. Takdir Tuhan tak dapat dilawan, Tuhan dapat mengambil milik-Nya kapan saja, tetapi saya berkeyakinan bahwa Tuhan tidak “bermain dadu” dalam menciptakan dunia termasuk tidak “bermain dadu” dalam mengambil hidup hamba-Nya, semuanya terencana entah dengan cara apa. Einstein (fisikawan terbaik dunia sepanjang masa) yang seorang Yahudi jauh sebelum hari ini telah menyadari hal itu.
Paman yang kusayang dan menyayangi aku dan keluargaku pada hari Senin tanggal 28 Mei 2007 pukul 20.00 Wita harus memenuhi panggilan Ilahi yang menandai perjalanan singkatnya di dunia fana ini di usia sekitar 30-an tahun. Tak seharusnya aku meratap karena itu sebuah keharusan oleh-Nya, tetapi tetap saja hatiku tersayat dengan kenyataan ini. “Pamanku, Sahabatku” telah pergi, terlalu banyak kenangan yang kau torehkan untukku dan keluarga kita. Aku tidak meratap karena kepergianmu, tetapi kenangan masa hidupmu terpampang jelas dalam benakku.
Kau menemani masa kecilku hanya sekejap, lalu kau pergi seperti lenyap di telan bumi dan kembali hadir pada saat usiaku telah menginjak dewasa lalu sekarang kau harus pergi lagi dan tak mungkin kembali.
=====
Dia menemani masa kecilku walau hanya sesaat dan saat itu Dia sudah SD. Kadang di sore hari Dia mengajak aku bersamanya mengembala sapi, mencari buah kenari atau sekali-kali dia memanjat pohonnya dan tugasku memunguti buahnya. Aku masih kanak-kanak ketika Dia meninggalkan kampung halaman “Herlang” ke negeri Jiran Malaysia. Sejak itu tidak pernah ada kabar darinya, dia pergi bagaikan peluru yang tak ingat kembali, mungkin sekitar 17 tahun.
Saat kuliahku menginjak semester 6, tiba-tiba dia pulang dengan membawa seorang istri (perempuan Jawa). Seakan tak percaya bahwa dia masih ingat pulang setelah sekian lama. Pada saat itu Ayahandanya baru saja meninggal dunia dan tinggal Bundanya seorang. Aku tidak menyangka bahwa dia mengenaliku dan memelukku erat padahal dia pergi saat aku masih balita. Tidak ada yang berubah darinya, dia masih memanjakanku seakan masih menganggapku seperti saat dia tinggalkan dulu. Bagiku, Dia bukan hanya sekedar Paman tapi lebih sebagai seorang sahabat yang menghilangkan batas kewibawaan antara paman dan keponakan.
Untuk menghidupi istri dan ibundanya, Dia beli sepeda motor yang digunakannya untuk menarik ojek. Mungkin karena itulah (dengan tidak mengesampingkan kekuasaan Ilahi) ajal menjemputnya. Bulan September 2006 lalu dia harus diopname di RSU Sultan Daeng Raja Bulukumba karena lever, imbas dari hepatitis yang dideritanya, namun Kuasa Tuhan masih menganugerahinya kesehatan. Setelah beristirahat total selama 3 bulan, dia kembali narik ojek untuk menghidupi keluarga. Dan selama Dia narik ojek, adikku satu-satunya yang juga sangat disayanginya tidak perlu susah payah untuk ke sekolah karena diantar jemput olehnya plus uang jajan setiap hari.
=====
Dan hari ini Dia harus menutup mata untuk selama-lamanya setelah sebelumnya terbaring sakit dengan penyakit yang sama, meninggalkan istrinya, ibundanya dan kami semua. Yang aku sesali karena aku tidak bisa di sampingnya pada detik-detik terakhir hidupnya, tidak bisa mengantar jenazahnya, dan tidak bisa larut dalam khidmat ta’ziahnya. Aku berada jauh sekitar 400 km darinya dan harus menuntaskan Prajabatan. Segenap cinta dan kasih sayang yang Kau berikan akan kami kenang, dan kami akan senantiasa mendoakanmu.
Selamat jalan Paman…!!!. Aku tak bisa temukan kata yang terbaik untuk melepas kepergianmu.
Persembahanku untuk Paman Rappelis, semoga arwahmu tenang di sisi-Nya.
Monday, May 28, 2007
Monday, May 14, 2007
Prajab Hari Ke-1, Dewi Fortuna Selingkuh
Jam 06.00 pagi ha-pe ku bunyi, dengan mata yang masih enggan terbuka kulihat Shanty memanggil. Aku tau tujuannya, membangunkan aku karena sebelumnya dia sudah janji. Rencananya mau dibangunkan jam 05.30 tapi aku mengubah jadwal pada jam 04.30 lewat sms karena sampai jam itu aku belum bisa tidur. Isi sms nya meminta Shanty bangunkan jam 06.00 saja, bukan jam 05.30.
Aku sulit tidur karena mungkin sebelumnya minum kopi (Iqa bilang: pikiranku bloon karena minum kopi). Aku berusaha pejamkan mata tapi kelengkapanku untuk pembukaan Prajabatan terus menghantui. Mungkinkah toko itu cepat buka? Aku kehilangan kesadaran sekitar jam 5 seiring dengan lantunan ayat suci dari masjid-masjid di sekitaran tempat tinggalku dan baru tersadar jam 06.00 pagi oleh panggilan Shanty itu. Makasih Shan, kamu memang adik yang baik.
Aku bergegas bangun, tidak seperti biasanya yang malas-malasan. Aku tidak langsung mandi tapi panasin si Blacky dulu plus mengelusnya dengan kain halus agar kinclong. Setelah itu baru mandi, pasang setelan KORPRI dan tidak lupa tenggerkan kopiah di kepala yang aku beli di Senggol, nampang depan cermin, wah “kebapakan” banget. Menu wajib mandi pagi, bersin-bersin hebat tidak terlewatkan karena penyakit pholip.
Aku segera berangkat. Karena Hotel Graha di pinggiran kota, diperjalanan aku tak sedikit berpapasan dengan orang dengan setelan sama yang artinya peserta prajabatan juga yang sudah menuju ke tempat kegiatan sementara aku malah memacu si Blacky masuk kota. Mungkin mereka berfikir aku salah informasi tempat, tetapi aku tidak ambil pusing. Si Blacky terus melaju lewat depan Toko 75, wah belum buka. Alamat kacau nih. Aku terus ke Toko Harmonis, kejadian sama aku temui. Aku terancam gak dapat papan nama dan lencana KORPRI kalau begini. Aku berpikir beli pulsa dulu karena di depan toko itu ada nomor telpon, aku mau hubungi pemiliknya. Tapi saat aku mutar ke samping toko itu, ada perempuan berdiri depan pintu samping yang sepertinya mau masuk ke toko itu sambil meneriaki penghuni di dalamnya. Aku bertanya “ada orang gak di dalam?”, dia jawab “ada”. Aku ikutan menunggu disitu. Tak lama orangnya keluar, setelah utarakan maksud, dia minta notanya. Aku utak atik dompet koq tidak ada, tapi aku berpikir aku siap bayar ulang yang penting barangnya ada. Tetapi ternyata notanya ada tapi terselip diantara lembaran-lembaran uang dan akhirnya papan nama itu ada di tanganku, dan untungnya disitu juga dijual lencana KORPRI. Aku tersenyum lega. Dewi Fortuna ternyata masih senang berselingkuh denganku. Aku kemudian memutar arah ke tempat kegiatan dengan santai karena waktunya masih banyak.
Di hotel Graha sudah banyak yang datang, termasuk teman-teman se unit kerjaku. Kami berbincang lepas dan tak lama dipanggil masuk ruangan untuk geladi bersih (apa yang bersih, kotor aja tidak ikut…???). Tetapi relatif mudah saja. Yang paling mengesankan adalah pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku menyanyi dengan lantang dan entah mengapa seperti itu bahkan aku merasa bulu tubuhku merinding. Geladi bersih selesai dan tinggal menunggu kedatangan Walikota Parepare M. Zain Katoe. Tidak lama beliau datang dengan senyuman khasnya, dan pembukaan dilangsungkan dengan khidmat. Dan kembali bulu tubuhku merinding pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh semangat. Mungkin karena terlalu lama aku tidak menyanyikannya. Setelah pembukaan, masuklah materi pengantar Diklat Prajabatan yang intinya tentang pelaksanaan Prajabatan Gol. III. Itu berlangsung sampai sore sekitar jam 15.45. Berhubung materi terakhir adalah Ceramah Umum dari Walikota dan beliau tidak bisa hadir, peserta dipulangkan.
Sungguh hari pertama yang melelahkan, diawali dengan deg-degan dan berakhir pada rasa ngantuk hebat di ruangan. Panitia mengingatkan “tidak boleh tidur kecuali tertidur”. Aku yakin sanggup menjalani Prajabatan ini selama dua minggu ke depan. “Ayo Syarief, semangat jangan lemes”, itu sms dari Iqa (Rifqa Nukman: Karyawan GraiHalo Telkomsel Bulukumba). Makasih Iqa, makasih Shanty, you are my best friend (jangan diketawai kalau English nya salah ya…)
Aku sulit tidur karena mungkin sebelumnya minum kopi (Iqa bilang: pikiranku bloon karena minum kopi). Aku berusaha pejamkan mata tapi kelengkapanku untuk pembukaan Prajabatan terus menghantui. Mungkinkah toko itu cepat buka? Aku kehilangan kesadaran sekitar jam 5 seiring dengan lantunan ayat suci dari masjid-masjid di sekitaran tempat tinggalku dan baru tersadar jam 06.00 pagi oleh panggilan Shanty itu. Makasih Shan, kamu memang adik yang baik.
Aku bergegas bangun, tidak seperti biasanya yang malas-malasan. Aku tidak langsung mandi tapi panasin si Blacky dulu plus mengelusnya dengan kain halus agar kinclong. Setelah itu baru mandi, pasang setelan KORPRI dan tidak lupa tenggerkan kopiah di kepala yang aku beli di Senggol, nampang depan cermin, wah “kebapakan” banget. Menu wajib mandi pagi, bersin-bersin hebat tidak terlewatkan karena penyakit pholip.
Aku segera berangkat. Karena Hotel Graha di pinggiran kota, diperjalanan aku tak sedikit berpapasan dengan orang dengan setelan sama yang artinya peserta prajabatan juga yang sudah menuju ke tempat kegiatan sementara aku malah memacu si Blacky masuk kota. Mungkin mereka berfikir aku salah informasi tempat, tetapi aku tidak ambil pusing. Si Blacky terus melaju lewat depan Toko 75, wah belum buka. Alamat kacau nih. Aku terus ke Toko Harmonis, kejadian sama aku temui. Aku terancam gak dapat papan nama dan lencana KORPRI kalau begini. Aku berpikir beli pulsa dulu karena di depan toko itu ada nomor telpon, aku mau hubungi pemiliknya. Tapi saat aku mutar ke samping toko itu, ada perempuan berdiri depan pintu samping yang sepertinya mau masuk ke toko itu sambil meneriaki penghuni di dalamnya. Aku bertanya “ada orang gak di dalam?”, dia jawab “ada”. Aku ikutan menunggu disitu. Tak lama orangnya keluar, setelah utarakan maksud, dia minta notanya. Aku utak atik dompet koq tidak ada, tapi aku berpikir aku siap bayar ulang yang penting barangnya ada. Tetapi ternyata notanya ada tapi terselip diantara lembaran-lembaran uang dan akhirnya papan nama itu ada di tanganku, dan untungnya disitu juga dijual lencana KORPRI. Aku tersenyum lega. Dewi Fortuna ternyata masih senang berselingkuh denganku. Aku kemudian memutar arah ke tempat kegiatan dengan santai karena waktunya masih banyak.
Di hotel Graha sudah banyak yang datang, termasuk teman-teman se unit kerjaku. Kami berbincang lepas dan tak lama dipanggil masuk ruangan untuk geladi bersih (apa yang bersih, kotor aja tidak ikut…???). Tetapi relatif mudah saja. Yang paling mengesankan adalah pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku menyanyi dengan lantang dan entah mengapa seperti itu bahkan aku merasa bulu tubuhku merinding. Geladi bersih selesai dan tinggal menunggu kedatangan Walikota Parepare M. Zain Katoe. Tidak lama beliau datang dengan senyuman khasnya, dan pembukaan dilangsungkan dengan khidmat. Dan kembali bulu tubuhku merinding pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh semangat. Mungkin karena terlalu lama aku tidak menyanyikannya. Setelah pembukaan, masuklah materi pengantar Diklat Prajabatan yang intinya tentang pelaksanaan Prajabatan Gol. III. Itu berlangsung sampai sore sekitar jam 15.45. Berhubung materi terakhir adalah Ceramah Umum dari Walikota dan beliau tidak bisa hadir, peserta dipulangkan.
Sungguh hari pertama yang melelahkan, diawali dengan deg-degan dan berakhir pada rasa ngantuk hebat di ruangan. Panitia mengingatkan “tidak boleh tidur kecuali tertidur”. Aku yakin sanggup menjalani Prajabatan ini selama dua minggu ke depan. “Ayo Syarief, semangat jangan lemes”, itu sms dari Iqa (Rifqa Nukman: Karyawan GraiHalo Telkomsel Bulukumba). Makasih Iqa, makasih Shanty, you are my best friend (jangan diketawai kalau English nya salah ya…)
Sunday, May 13, 2007
Prajabatan Dinanti, Kacau Balau
Setelah penantian cukup panjang, Prajabatan untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kota Parepare akhirnya digelar juga. CPNS 2006 ditetapkan sejak tanggal 1 April 2006 dan mulai mengabdi 1 Juni 2006. Hampir setahun, akhirnya prajabatan dinanti datang juga. Padahal semua daerah lingkup Sulawesi Selatan telah menyelenggarakan prajabatan untuk CPNS mereka bahkan kabupaten Bulukumba menyelenggarakannya pada bulan November 2006.
Prajabatan mulai diselenggarakan besok (14 Mei 2007) sampai dua minggu ke depan berlangsung di Hotel Graha Kota Parepare. Seminggu sebelumnya aku telah melakukan persiapan untuk mengikuti prajabatan ini termasuk pengurusan berkas, papan nama, pakaian KORPRI, peci hitam dan belakangan saya ketahui harus memakai lencana KORPRI. Namun di luar dugaan menjelang detik-detik akhir pelaksanaan aku harus kalang kabut untuk melengkapi persiapan-persiapan yang dibutuhkan.
Sejak hari Senin yang lalu aku sudah memesan papan nama di Toko Harmonis dan dijanji akan diambil hari Jumat tetapi entah mengapa sampai waktunya tiba belum jadi juga. Aku dijanji ambil hari Sabtu. Hari Sabtu aku kembali ke toko itu tetapi lagi-lagi belum selesai. Aku jadi naik pitam kepada pemilik tokonya. Dengan nada membujuk dia mengatakan kembali lagi besok (maksudnya Minggu) dan toko itu buka sampai jam sembilan malam. Dengan hati yang mendongkol aku tinggalkan toko itu yang tersalurkan lewat si Blacky yang kupacu kencang-kencang dengan suara knalpotnya yang memang di atas rata-rata karena habis diganti dengan knalpot racing.
Hari minggu adalah persiapan akhir, semua peserta harus datang untuk geladi kotor di Hotel Graha sekaligus pembagian perlengkapan. Tetapi karena penyakit “malas” datang lagi makanya aku tidak ikut karena aku masih menikmati hari tidur nasional. Jam 8.30 malam aku telpon teman untuk menanyakan hal-hal yang akan dilakukan besok. Aku hubungi Pak Sofyan (guru geografi), tidak diangkat. Aku hubungi Pak Mansur (guru Bahasa Indonesia), tidak diangkat karena ternyata mereka sedang di kendaraan menuju Senggol untuk refreshing. Aku teringat ibu Rahmiati (guru Geografi), nah diangkat. Beliau kemudian menjelaskan semua kelengkapannya. Pas beliau ngomong papan nama, seketika aku histeris karena ternyata aku belum ambil papan nama itu di Toko Harmonis. Cepat-cepat aku tutup telpon kemudian memacu si Blacky dengan kecepatan tinggi menuju toko itu karena sebentar lagi jam sembilan malam. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih karena toko itu sudah tutup padahal ini belum jam sembilan, mana besok harus masuk jam 07.30. Aku hanya bisa berharap toko itu cepat buka besok. Aku kemudian kembali ke base, nelpon kembali ke Pak Sofyan, diangkat. Aku kembali tanya-tanya, dia bilang harus ada lencana KORPRI yang adanya hanya di toko 75. Aku kembali pacu si Blacky sekencang-kencangnya ke toko itu yang lumayan jauh tapi lebih dekat dibanding toko Harmonis. Kembali aku harus gigit jari karena toko itu sudah tutup juga.
Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku. Kenapa aku jadi pikun begini. Apa yang akan menimpaku besok ya di tempat prajabatan. Bapak/Ibu panitia begini bla...bla...bla... ah basi.... Skenario pertama aku harus pagi-pagi ke kedua toko itu dan berharap kedua toko itu cepat buka. Jika skenario pertama gagal maka persiapkan skenario kedua, harus memasang wajah memelas di depan panitia dan alasannya harus sudah dipersiapkan malam ini.
Peterpan Band bilang “apa yang terjadi, terjadilah...”. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi besok. Semoga Dewi Fortuna masih ingin berselingkuh denganku.
Prajabatan mulai diselenggarakan besok (14 Mei 2007) sampai dua minggu ke depan berlangsung di Hotel Graha Kota Parepare. Seminggu sebelumnya aku telah melakukan persiapan untuk mengikuti prajabatan ini termasuk pengurusan berkas, papan nama, pakaian KORPRI, peci hitam dan belakangan saya ketahui harus memakai lencana KORPRI. Namun di luar dugaan menjelang detik-detik akhir pelaksanaan aku harus kalang kabut untuk melengkapi persiapan-persiapan yang dibutuhkan.
Sejak hari Senin yang lalu aku sudah memesan papan nama di Toko Harmonis dan dijanji akan diambil hari Jumat tetapi entah mengapa sampai waktunya tiba belum jadi juga. Aku dijanji ambil hari Sabtu. Hari Sabtu aku kembali ke toko itu tetapi lagi-lagi belum selesai. Aku jadi naik pitam kepada pemilik tokonya. Dengan nada membujuk dia mengatakan kembali lagi besok (maksudnya Minggu) dan toko itu buka sampai jam sembilan malam. Dengan hati yang mendongkol aku tinggalkan toko itu yang tersalurkan lewat si Blacky yang kupacu kencang-kencang dengan suara knalpotnya yang memang di atas rata-rata karena habis diganti dengan knalpot racing.
Hari minggu adalah persiapan akhir, semua peserta harus datang untuk geladi kotor di Hotel Graha sekaligus pembagian perlengkapan. Tetapi karena penyakit “malas” datang lagi makanya aku tidak ikut karena aku masih menikmati hari tidur nasional. Jam 8.30 malam aku telpon teman untuk menanyakan hal-hal yang akan dilakukan besok. Aku hubungi Pak Sofyan (guru geografi), tidak diangkat. Aku hubungi Pak Mansur (guru Bahasa Indonesia), tidak diangkat karena ternyata mereka sedang di kendaraan menuju Senggol untuk refreshing. Aku teringat ibu Rahmiati (guru Geografi), nah diangkat. Beliau kemudian menjelaskan semua kelengkapannya. Pas beliau ngomong papan nama, seketika aku histeris karena ternyata aku belum ambil papan nama itu di Toko Harmonis. Cepat-cepat aku tutup telpon kemudian memacu si Blacky dengan kecepatan tinggi menuju toko itu karena sebentar lagi jam sembilan malam. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih karena toko itu sudah tutup padahal ini belum jam sembilan, mana besok harus masuk jam 07.30. Aku hanya bisa berharap toko itu cepat buka besok. Aku kemudian kembali ke base, nelpon kembali ke Pak Sofyan, diangkat. Aku kembali tanya-tanya, dia bilang harus ada lencana KORPRI yang adanya hanya di toko 75. Aku kembali pacu si Blacky sekencang-kencangnya ke toko itu yang lumayan jauh tapi lebih dekat dibanding toko Harmonis. Kembali aku harus gigit jari karena toko itu sudah tutup juga.
Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku. Kenapa aku jadi pikun begini. Apa yang akan menimpaku besok ya di tempat prajabatan. Bapak/Ibu panitia begini bla...bla...bla... ah basi.... Skenario pertama aku harus pagi-pagi ke kedua toko itu dan berharap kedua toko itu cepat buka. Jika skenario pertama gagal maka persiapkan skenario kedua, harus memasang wajah memelas di depan panitia dan alasannya harus sudah dipersiapkan malam ini.
Peterpan Band bilang “apa yang terjadi, terjadilah...”. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi besok. Semoga Dewi Fortuna masih ingin berselingkuh denganku.
Wednesday, May 9, 2007
Masa Kecil, Sengsara...???
Malam ini sepulang dari kantor aku berkunjung ke rumah teman kantorku (Adhi), rencana mau memoles si Blacky (motor kesayangan), karena kebetulan dia punya pengalaman untuk itu. Sesampai di rumahnya ternyata mati lampu. Gelap gulita.
Tidak lama, Bapak temanku itu keluar membawa sebuah pelita kecil yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Kemudian ia kembali masuk ke dalam dan temanku masuk kamarnya entah ngapain. Aku tinggal duduk sendiri di ruang tamu memandangi pelita kecil itu sekian lama.
Entah mengapa, memandangi pelita kecil itu membawa anganku kembali ke masa kecilku. Dan sesampainya di kantor aku tertarik untuk menulis kisah itu. Masa yang tak terlupakan yang kulakoni di Butta Panrita Lopi Bulukumba yang berjarak sekitar 500 km dari tempatku saat ini. Masa kecilku di temani oleh temaram pelita kecil karena aku tinggal di sebuah desa yang sangat terpencil. Listrik saat itu belum masuk (saat ini sudah ada) dan jalannya masih dari tanah yang belum terlapisi aspal sehingga kalau hujan, tak satupun mobil angkutan yang berani melewatinya, itu pun jumlahnya hanya beberapa. Desa itu bernama Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Padahal komoditi hasil alam di tempat ini sangat menjanjikan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi hingga kini perkampungan itu masih terlupakan oleh pemerintah atau bahkan dianggap tidak ada dalam peta. Saat aku masih tinggal di tempat itu, babi hutan masih merupakan pemandangan yang tak asing dijumpai setiap harinya atau bahkan boleh dibilang menjadi teman bermain.
Aku tidak terlahir di tempat itu, aku terlahir di kecamatan lain yaitu Kecamatan Herlang di sebuah gubuk yang tak layak disebut rumah di tengah kebun yang dinaungi pohon mangga “macan” yang sangat besar. Kondisinya tidak kalah menyedihkan. Karena letaknya di kebun sehingga rumahku tidak bertetangga dengan siapa pun. Gubuk reot itu berdiri sendiri. Saat usiaku menginjak 4 tahun, Tuhan semakin menyengsarakan keluargaku dengan merampas gubuk kecil itu dengan lalapan api. Sejak itulah kedua orang tuaku yang hanya memiliki aku sebagai harta satu-satunya terlunta-lunta dan harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal yang baru.
Orang tuaku sempat mencoba untuk tinggal di Kawasan Adat Ammatoa Kajang namun hanya bertahan sekitar 3 bulan karena kondisi di tempat itu tidak sesuai dengan keyakinan orang tuaku. Orang di kawasan adat Kajang menganggap bahwa shalat tidak perlu terikat dengan gerakan-gerakan tapi terkenal dengan istilah “je’ne tammaluka, sambayang tammattappu’” ---wudhu yang tidak pernah batal, shalat yang tidak pernah terputus atau terhenti---. Menurut anggapan mereka, tidak perlu melakukan ritual gerakan shalat intinya adalah zikir (mengingat) Allah dalam setiap aktivitas dan cukup sekali wudhu maka itu tidak akan batal sampai kapan pun. Walau sebenarnya mereka tidak mengintervensi orang tuaku dalam hal keyakinan tetapi pernah sekali Ayahku dipaksa minum “tuak: minuman keras dari aren” tetapi Ayahku menolak. Sejak saat itu kehidupan keluargaku tidak pernah tentram. Akhirnya di “subuh buta” dengan digendong Ibuku, kami meninggalkan tempat itu.
Tujuan kami adalah Desa Tibona sesuai dengan cerita awal tadi. Rumah di tempat ini masih sangat jarang dan jaraknya saling berjauhan sehingga praktis aku tidak punya teman bermain. Awal-awal aku di tempat ini dikaruniai adik tetapi umurnya hanya sekitar satu tahun dan aku harus sendiri lagi. Di tempat inilah aku menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD 68 Tibona. Setiap hari berangkat sekolah menyeberangi sungai dan hutan kopi yang ketika datang musim berbunga baunya sangat harum tetapi bisa menyebabkan flu. Sesekali bertemu kawanan babi hutan, tetapi semua seakan menjadi teman. Hanya saat kelas 1 aku sering diantar Bapak, namun setelah itu aku sudah berani berjalan sendiri. Awal masuk sekolah sampai sekitar kelas 3 menjadi hari tersulit karena aku belum bisa bahasa Bugis (bahasa di tempat ini) karena aku terlahir di komunitas bahasa konjo. Tetapi di sekolah aku tergolong cerdas karena selalu rangking I sejak kelas II. Aku hanya mendapatkan keceriaan ketika di sekolah dengan teman-teman dan harus sendiri lagi kalau sudah kembali ke rumah. Tetapi aku bisa belajar dengan tenang ditemani pelita kecil yang ketika bangun pagi harus bersihkan hidung karena pelita itu menyisakan kerak di sana. Orang tuaku hanyalah petani serabutan. Mengelola lahan orang lain dan memperoleh bagian setengah dari lahan yang dikelola. Sangat memprihatinkan.
Saat aku duduk di kelas VI, aku kembali dikaruniai adik perempuan yang saat ini sudah SMP dan sebentar lagi masuk SMA. Tetapi adikku tidak terlalu merasakan pahitnya hidup seperti yang kurasakan kalaupun dia merasakan maka dia belum mampu mengingat karena saat itu dia masih sangat kecil dan aku berdoa semoga itu tidak akan pernah adikku rasakan.
Di desa ini, terdapat sebuah sekolah SMP, saat aku lulus SD orang tuaku menganjurkan untuk sekolah di situ. Tetapi saat itu pikiranku sudah mulai terbuka dan menatap jauh ke depan. Aku berpikir tidak akan bisa maju kalau terus berada di tempat ini, apalagi dengan kualitas SMP itu yang tidak terlalu bagus. Maka aku meminta kepada orang tuaku untuk melanjutkan SMP di Kecamatan Herlang (tanah kelahiranku) yang lebih maju dibanding kediamanku saat itu dan menumpang di rumah tanteku. Orang tuaku mengizinkan tetapi aku harus berangkat sendiri, karena adikku masih kecil dan tidak bisa ditinggal. Jarak dari Tibona ke Herlang sekitar 50 km yang harus ditempuh dengan dua kali pindah kendaraan umum. Aku memberanikan diri demi masa depan, dan itulah pertama kalinya aku naik kendaraan umum sendiri.
Akhirnya aku sekolah di SMP Negeri Batuasang (sekarang SMP Negeri 2 Herlang), dan tidak lama setelah itu orang tuaku menyusul dan meninggalkan Desa Tibona tetapi kebun kami masih ada di sana yang setiap tahun menghasilkan buah-buahan yang menarik untuk dikunjungi, bahkan kadang rindu untuk kembali ke sana. Tetapi sejak SMA bahkan kuliah, aku sangat jarang berkunjung ke sana apalagi sekarang aku semakin jauh. Hanya Bapak yang sesekali menjenguk kebun itu. Tetapi orang tuaku tidak ingin menjualnya entah dengan alasan apa.
Sungguh masa kecil yang sengsara. Tapi Tuhan memperlihatkan keadilan dengan sedikit memperbaiki taraf hidup keluargaku termasuk berhasil membuat aku menjadi sarjana walau harus meniti karrier jauh dari mereka. Adakah orang tua yang sebaik itu?
***Terima kasih Adhi, kau membangkitkan keinginanku untuk menulis ini di blog tersayang***
Tidak lama, Bapak temanku itu keluar membawa sebuah pelita kecil yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Kemudian ia kembali masuk ke dalam dan temanku masuk kamarnya entah ngapain. Aku tinggal duduk sendiri di ruang tamu memandangi pelita kecil itu sekian lama.
Entah mengapa, memandangi pelita kecil itu membawa anganku kembali ke masa kecilku. Dan sesampainya di kantor aku tertarik untuk menulis kisah itu. Masa yang tak terlupakan yang kulakoni di Butta Panrita Lopi Bulukumba yang berjarak sekitar 500 km dari tempatku saat ini. Masa kecilku di temani oleh temaram pelita kecil karena aku tinggal di sebuah desa yang sangat terpencil. Listrik saat itu belum masuk (saat ini sudah ada) dan jalannya masih dari tanah yang belum terlapisi aspal sehingga kalau hujan, tak satupun mobil angkutan yang berani melewatinya, itu pun jumlahnya hanya beberapa. Desa itu bernama Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Padahal komoditi hasil alam di tempat ini sangat menjanjikan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi hingga kini perkampungan itu masih terlupakan oleh pemerintah atau bahkan dianggap tidak ada dalam peta. Saat aku masih tinggal di tempat itu, babi hutan masih merupakan pemandangan yang tak asing dijumpai setiap harinya atau bahkan boleh dibilang menjadi teman bermain.
Aku tidak terlahir di tempat itu, aku terlahir di kecamatan lain yaitu Kecamatan Herlang di sebuah gubuk yang tak layak disebut rumah di tengah kebun yang dinaungi pohon mangga “macan” yang sangat besar. Kondisinya tidak kalah menyedihkan. Karena letaknya di kebun sehingga rumahku tidak bertetangga dengan siapa pun. Gubuk reot itu berdiri sendiri. Saat usiaku menginjak 4 tahun, Tuhan semakin menyengsarakan keluargaku dengan merampas gubuk kecil itu dengan lalapan api. Sejak itulah kedua orang tuaku yang hanya memiliki aku sebagai harta satu-satunya terlunta-lunta dan harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal yang baru.
Orang tuaku sempat mencoba untuk tinggal di Kawasan Adat Ammatoa Kajang namun hanya bertahan sekitar 3 bulan karena kondisi di tempat itu tidak sesuai dengan keyakinan orang tuaku. Orang di kawasan adat Kajang menganggap bahwa shalat tidak perlu terikat dengan gerakan-gerakan tapi terkenal dengan istilah “je’ne tammaluka, sambayang tammattappu’” ---wudhu yang tidak pernah batal, shalat yang tidak pernah terputus atau terhenti---. Menurut anggapan mereka, tidak perlu melakukan ritual gerakan shalat intinya adalah zikir (mengingat) Allah dalam setiap aktivitas dan cukup sekali wudhu maka itu tidak akan batal sampai kapan pun. Walau sebenarnya mereka tidak mengintervensi orang tuaku dalam hal keyakinan tetapi pernah sekali Ayahku dipaksa minum “tuak: minuman keras dari aren” tetapi Ayahku menolak. Sejak saat itu kehidupan keluargaku tidak pernah tentram. Akhirnya di “subuh buta” dengan digendong Ibuku, kami meninggalkan tempat itu.
Tujuan kami adalah Desa Tibona sesuai dengan cerita awal tadi. Rumah di tempat ini masih sangat jarang dan jaraknya saling berjauhan sehingga praktis aku tidak punya teman bermain. Awal-awal aku di tempat ini dikaruniai adik tetapi umurnya hanya sekitar satu tahun dan aku harus sendiri lagi. Di tempat inilah aku menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD 68 Tibona. Setiap hari berangkat sekolah menyeberangi sungai dan hutan kopi yang ketika datang musim berbunga baunya sangat harum tetapi bisa menyebabkan flu. Sesekali bertemu kawanan babi hutan, tetapi semua seakan menjadi teman. Hanya saat kelas 1 aku sering diantar Bapak, namun setelah itu aku sudah berani berjalan sendiri. Awal masuk sekolah sampai sekitar kelas 3 menjadi hari tersulit karena aku belum bisa bahasa Bugis (bahasa di tempat ini) karena aku terlahir di komunitas bahasa konjo. Tetapi di sekolah aku tergolong cerdas karena selalu rangking I sejak kelas II. Aku hanya mendapatkan keceriaan ketika di sekolah dengan teman-teman dan harus sendiri lagi kalau sudah kembali ke rumah. Tetapi aku bisa belajar dengan tenang ditemani pelita kecil yang ketika bangun pagi harus bersihkan hidung karena pelita itu menyisakan kerak di sana. Orang tuaku hanyalah petani serabutan. Mengelola lahan orang lain dan memperoleh bagian setengah dari lahan yang dikelola. Sangat memprihatinkan.
Saat aku duduk di kelas VI, aku kembali dikaruniai adik perempuan yang saat ini sudah SMP dan sebentar lagi masuk SMA. Tetapi adikku tidak terlalu merasakan pahitnya hidup seperti yang kurasakan kalaupun dia merasakan maka dia belum mampu mengingat karena saat itu dia masih sangat kecil dan aku berdoa semoga itu tidak akan pernah adikku rasakan.
Di desa ini, terdapat sebuah sekolah SMP, saat aku lulus SD orang tuaku menganjurkan untuk sekolah di situ. Tetapi saat itu pikiranku sudah mulai terbuka dan menatap jauh ke depan. Aku berpikir tidak akan bisa maju kalau terus berada di tempat ini, apalagi dengan kualitas SMP itu yang tidak terlalu bagus. Maka aku meminta kepada orang tuaku untuk melanjutkan SMP di Kecamatan Herlang (tanah kelahiranku) yang lebih maju dibanding kediamanku saat itu dan menumpang di rumah tanteku. Orang tuaku mengizinkan tetapi aku harus berangkat sendiri, karena adikku masih kecil dan tidak bisa ditinggal. Jarak dari Tibona ke Herlang sekitar 50 km yang harus ditempuh dengan dua kali pindah kendaraan umum. Aku memberanikan diri demi masa depan, dan itulah pertama kalinya aku naik kendaraan umum sendiri.
Akhirnya aku sekolah di SMP Negeri Batuasang (sekarang SMP Negeri 2 Herlang), dan tidak lama setelah itu orang tuaku menyusul dan meninggalkan Desa Tibona tetapi kebun kami masih ada di sana yang setiap tahun menghasilkan buah-buahan yang menarik untuk dikunjungi, bahkan kadang rindu untuk kembali ke sana. Tetapi sejak SMA bahkan kuliah, aku sangat jarang berkunjung ke sana apalagi sekarang aku semakin jauh. Hanya Bapak yang sesekali menjenguk kebun itu. Tetapi orang tuaku tidak ingin menjualnya entah dengan alasan apa.
Sungguh masa kecil yang sengsara. Tapi Tuhan memperlihatkan keadilan dengan sedikit memperbaiki taraf hidup keluargaku termasuk berhasil membuat aku menjadi sarjana walau harus meniti karrier jauh dari mereka. Adakah orang tua yang sebaik itu?
***Terima kasih Adhi, kau membangkitkan keinginanku untuk menulis ini di blog tersayang***
Subscribe to:
Posts (Atom)