Monday, November 26, 2007

Refleksi Hari Guru

Sejak duduk di Sekolah Dasar, saya ingat sekali sebuah istilah untuk mengenang jasa-jasa guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang tertuang dalam sebuah lagu nasional. Saat itu, aku belum berpikir atau bercita-cita ingin menjadi guru bahkan makna dari cita-cita itu sendiri belum terfahami. Makna dari pahlawan tanpa tanda jasa itu juga masih kabur bahkan sama sekali belum aku fahami maknanya.
Keinginan untuk menjadi guru muncul saat aku duduk di kelas III SMP, saat itu aku sekolah di SMP Negeri Batuasang (sekarang SMP Negeri 2 Herlang) Kecamatan Herlang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Aku terinspirasi oleh guruku yang bernama Bapak Abd. Jahar, mengajar IPA Fisika. Menurut penilaianku, Pak Jahar (panggilan beliau) sangat cerdas dalam bidang Fisika dan baik dalam menyampaikan sehingga aku suka pelajaran Fisika karena aku mudah memahaminya. Banyak guru yang bisa seperti beliau, tetapi Pak Jahar istimewa karena beliau tidak utuh sebagaimana orang lain. Beliau pincang tetapi dengan penuh semangat menjalankan tugas mulia memberi kami ilmu dan pendidikan. Dari beliaulah inspirasi itu berawal, dari beliaulah cita-citaku terpetakan dengan jelas. Aku ingin seperti beliau, meniru semangatnya dalam mencerdaskan anak bangsa. Maka jadilah aku guru seperti hari ini yang kebetulan menggeluti disiplin ilmu yang sama dengan beliau yaitu Fisika yang dengan susah payah aku selesaikan di jenjang S1 Universitas Negeri Makassar.
Sayang sekali, aku tidak mengabdi di tempat kelahiranku. Entahkah suatu hari nanti aku akan kembali untuk berusaha mencerdaskan adik-adikku, atau mungkin jika umur masih panjang mereka akan menjadi anak-anakku atau cucu-cucuku. Harapan selalu ada untuk kembali. Aku kini mengabdi terpisah jarak sekitar 500 km di bagian Sulawesi Selatan yang lain.
Mengingat saat ini adalah moment hari guru, saya berusaha merefleksi keberadaan guru kemarin dan guru hari ini dimata mereka. Telah banyak yang bergeser dari yang semestinya. Sebuah pepatah mengatakan ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mungkin teksnya sedikit aku ubah ”guru kencing berdiri, murid kencingi guru”. Itulah fenomena yang terjadi sekarang, siswa tak lagi menganggap guru adalah panutan malah penghormatan ke guru telah tereduksi sedemikian rupa jika tidak ingin dikatakan kurang ajar. Tak ada lagi batas wibawa antara guru dengan siswa yang mungkin terinspirasi oleh sinetron masa kini yang kadang melecehkan profesi guru. Melalui tulisan ini saya ingin mengajukan protes kepada media elektronik yang mendiskreditkan guru dalam bentuk pelecehan-pelecehan atas nama peningkatan rating siaran.
Tetapi harus diakui bahwa tidak sedikit guru yang tidak sadar akan profesinya sehingga kadang tidak sadar melecehkan profesinya sendiri yang suci. Lihatlah sekarang di media pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum guru baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Tetapi masih banyak guru yang suci dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa dan ingin melihat bangsa ini bermoral dan bermartabat.
Nasib dan kelangsungan bangsa ini sedikit banyaknya terletak di pundak guru. Sebuah tugas mulia yang seharusnya memperoleh tempat yang tinggi dalam srata sosial kita dan tentu saja memperoleh kelayakan dalam hal kesejahteraan dalam mengemban tugas. Tetapi jangan jadikan kesejahteraan sebagai kambing hitam sehingga tugas mulia sebagai guru tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Bukankah kita ambil keputusan untuk menjadi guru dengan mengetahui betul resiko di balik itu.
Selamat berjuang Oemar Bakri, jadikan bangsa ini cerdas, bermoral dan bermartabat

No comments:

Post a Comment