Sudah tradisi di SMP Negeri 5 Parepare bahwa semua guru dapat giliran menjadi Pembina Upacara tak terkecuali aku yang belum cukup setahun mengabdi. Nah, tanggal 23 April 2007 kena dech giliran aku.
Sebenarnya tidak ada persiapan khusus, tapi aku paling alergi bangun pagi. Sekedar info ***selama ini jarang ikut upacara*** karena kebanyakan telat bangun pagi. Aku takutnya terlambat bangun, wah gawat bisa diomelin oleh semua guru di sekolah, kepala sekolah, untung kalo siswanya gak ikut ngomel, atau sampai meja dan kursinya ikut ngoceh.
Makanya segala tips dan cara dilakukan termasuk melakukan ritual (ritual tuh, tidur cepat. Ha? Hubungannya dimana?). Tapi dasar kebiasaan begadang, udah tidur sekitar jam sembilan malam, ehhhh terbangun lagi jam sebelas. Wah, udah was2 pasti telat bangun lagi. Mutar otak, pasang alarm di ha-pe? Udah. Tapi biasanya gak mempan karena suka gak sadar bangun cuma matiin aja. Ah, hubungi Shanty suruh dia telepon jam lima tiga puluh pagi tuk bangunin karena dia pasti cepat bangun tuk berangkat sekolah. Sekitar jam dua tidur lagi dengan terlebih dahulu membuat konsep dalam otak apa yang ingin disampaikan(pinjam istilah nenek Einstein: eksperiman dalam fikiran, he he he). Selamat tidur Syarief.
=====
Jam lima tiga puluh aku dengar ha-pe ku bunyi. Dengan mata masih enggan terbuka aku menyapa “halo”, “halo kak, bangun katanya mau bangun cepat” kata suara merdu diujung telpon. “mmm, iya. Makasih”. Sesudah basa basi sebentar telepon pun ditutup. Aku lirik jam di ha-pe, ah masih sangat pagi… masih ada waktu tidur sebentar lagi. Lanjut lagi tidurnya (dasar pemalas). Tidak lama tersentak bangun, wah udah lewat jam enam. Buru-buru bangun tapi gak bisa langsung mandi karena dingin sekali. Jadinya duduk2 dulu lalu panasin motor. Mau gak mau harus mandi, meski setelah itu bersin2 hebat ***maklum menderita pholip***. Trus masang pakaian dinas Hansip, ngeceng depan cermin, semprot sana semprot sini, udah siap. Di meja makan blom ada sarapan karena pengantarnya blom datang. Ya sudah, ambil tas berisi buku2 yang belum aku baca semua. Pacu si “Blacky“ ke sekolah yang berjarak sekitar lima kilometer, langsung naik parkiran yang jalan naiknya hampir empat puluh lima derajat. Blum banyak guru yang datang karena di parkiran masih banyak tempat kosong ***hal yang tidak biasa kujumpai karena biasanya aku datang telat dan susah dapat tempat kosong***.
Pak Yuddin (guru seni) langsung nyapa tapi sapaannya aneh “mimpi apa semalam, barusan datangnya pagi“. Aku hanya tersenyum. Aku terus mendaki menuju kantor karena memang sekolah teksturnya berbukit. Sapaan sama terjadi di sana, bahkan ada guru senior yang cubit dirinya sendiri “apa saya mimpi liat Pak Syarief datang pagi”. Duuuhhh segitu malaskah aku selama ini. Sudah saatnya introspeksi diri, karena selama ini aku memang cuek untuk urusan yang tidak berhubungan dengan pembelajaran di kelas, apa lagi dengan urusan bergosip ria, bahkan saat SMP Negeri 5 Parepare dililit masalah internal dan terekspose ke media, aku tetap cuek-cuek aja.
=====
Jam tujuh nol nol, upacara dimulai. Salah seorang siswa datang melapor sebagai bagian seremonial “Bapak selaku Pembina upacara diperkenankan memasuki lapangan upacara”. Dengan langkah tegap yang dibuat-buat, melangkah menuju mimbar di tengah lapangan. Lho... lho... koq aku ngerasa lutut kiriku kaku. Wah, aku grogi. Gawat. Padahal aku sering hadapi tekanan lebih dari ini. Aku mundur selangkah, tarik nafas dalam2. Akhirnya jadi rileks. Semua teratasi. Tiba saatnya amanah pembina upacara, yang paling dinanti dan paling mendebarkan karena harus ngomong layaknya orang tua yang sok bijaksana dan menjurus ke sok tau dengan guru-guru senior dan kepala sekolah berdiri di belakang. Dengan segala kemampuan aku berusaha mengaplikasikan teori retorika ***materi yang sering kubawakan di acara kemahasiswaan dulu***. Aku awali dengan bicara pengalaman bahwa sekitar enam tahun silam statusku sama seperti mereka sebagai siswa dan berdiri sebagai peserta upacara dan sekarang sudah lain kondisinya. Istimewanya karena hari Senin (23/04/07) sehari menjelang pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP yang dilaksanakan serentak tanggal 24 April 2007 di seluruh Indonesia. Ya jadinya wajib beri motivasi kepada kelas IX dengan mengulas standar kelulusan yang sulit dengan mengambil contoh Kepala Sekolah di Ngawi yang nekat curi soal untuk siswanya. Aku juga mengulas singkat tentang etika yang sudah sangat berbeda ketika saya sekolah dulu kaitannya dengan tayangan TV yang sangat bepengaruh. Oemar Bakri yang terinjak tak lepas dari ulasanku dengan mengambil contoh guru di Takalar yang harus meringkuk di penjara dan beberapa kasus siswa yang mempolisikan gurunya hanya karena persoalan sepele seakan siswa telah menjadi dewa yang tidak boleh disentuh. Aku tidak banyak basa basi, prinsipku “padat dan semoga aja jelas“.
=====
Setelah upacara selesai, aku disambut guru-guru senior dengan jabat tangan. Aku heran, lho ada apa ini?. Ternyata mereka ngasi selamat karena katanya salut dengan perform dan amanah yang menyentuh. Karena setelah upacara langsung diadakan rapat untuk persiapan Ujian Nasional, kalimat2 ku dalam upacara masih dibahas di rapat tersebut bahkan kepala sekolah memberi nilai plus sebagai guru muda. Wah kayak Cristiano Ronaldo (gelandang MU) saja yang memperoleh penghargaan pemain muda terbaik di premiership karena kebetulan sebelum aku, guru muda yang lain telah tampil. Dan guru-guru senior bilang aku berhak menyandang gelar the best.
=====
Awal yang baik. Bagiku ini belum apa-apa karena aku yakin masih bisa melakukan banyak hal yang berarti untuk sekolah dan tentunya untuk diriku sendiri. Aku sering berkelakar dengan teman2 guru seusiaku “satu hal yang membuat pikiranku terganggu sebelum tidur Gimana caranya memajukan pendidikan Indonesia dan mencerdaskan anak bangsa”. Dan setelah itu kami tertawa seakan tanpa beban. Memang kedengaran terlalu ideal padahal semua itu adalah tanggung jawab kami selaku Oemar Bakri.
No comments:
Post a Comment