Jika Andi Alfian Mallarangeng yang berdarah Sul Sel menulis sebuah buku dengan judul Dari Kilometer 0,0 maka tulisan ini saya beri judul Kembali ke Kilometer 0,0. Maaf, bukan maksud ingin menjadi tenar seperti beliau yang telah menjadi orang penting di negeri ini sebagai penyambung lidah Presiden RI. Aku hanya ingin kembali bercerita tentang diriku, siapa diriku? Mungkin tak ada yang mengenalku... (setidaknya hingga hari ini), menjadi penyambung lidah untuk diriku sendiri, entah untuk siapa. Mungkin hanya pengejawantahan dan wujud kegelisahan.
Sekilas judulnya sama tetapi makna yang tersampaikan sangat jauh berbeda. Jika Pak Andi dengan tulisannya Dari Kilometer 0,0 menulis untuk memberi pencerahan untuk semua orang untuk bersikap optimis dan postifif dengan kata DARI, maka aku dengan tulisanku Kembali Ke Kilometer 0,0 hanya akan menceritakan keputusasaan yang seakan tanpa harapan dengan kata KEMBALI. Sangat kontradikitif antara sebuah langkah maju dengan kemunduran.
Perjalan hidup telah mengantarku berada di titik ini, titik dimana aku harus memaksa diri menoleh ke belakang yang ternyata jauh lebih baik. Pasang surut dalam perjalanan hidup memang biasa terjadi yang turut mewarnai hidup tetapi yang kualami akhir-akhir ini tidaklah seperti datangnya pasang surut sebagai sebuah fenomena alam yang lazim terjadi. Tidak sesederhana itu, aku merasa ini badai yang meluluh lantakkan semua yang kupunya. Keyakinan, semangat, anggota tubuh, dan yang lebih parah aku nyaris kehilangan harga diri atau mungkin aku sudah tak memilikinya lagi tanpa kusadari.
Mungkin saat inilah kedewasaanku teruji, bukan remaja atau anak-anak lagi yang harus mengikuti arus yang semestinya bukan tempatku lagi, memaksakan keinginan yang sama sekali tak mampu kuraih dan mengesampingkan prinsip rasionalitas. Berhenti bermain dadu layaknya anak kecil, tertawa terbahak dan sekali-kali meratap layaknya seorang remaja, mengumbar hasrat dengan pikiran kosong tanpa memperhitungkan apa-apa.
Ya... itu bukan duniaku lagi. Seharusnya semua itu aku lepaskan demi kehidupan yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih bermartabat. Tidak lagi menginjak diri sendiri, mempermalukan diri sendiri, menyakiti diri sendiri.
Sejenak aku tersadar, ini bukan salah siapa-siapa. Akulah yang menciptakan semua ini, aku telah menyiksa diriku sendiri, aku telah bermain dengan api, mengejar fatamorgana yang tak lebih dari bayang-bayang semata, melampiaskan keinginan dan hasrat tanpa tujuan. Aku telah menyiakan sejengkal masa hidupku yang seharusnya lebih berarti. Itu bukan aku... itu bukan aku... itu bukan aku....
Ada apa di titik ini yang membuatku muak dan sangat ingin kembali ke belakang, ke kilometer 0,0 untuk menata semuanya kembali menjadikannya lebih baik dari hari ini. Tuhan, aku menyesal berada di titik ini.
Kembalikan aku ke titik 0,0 itu...
No comments:
Post a Comment